September 2024. Itulah kali pertama saya melihat postingan di Instagram Food Blogger Indonesia Community tentang undangan menulis buku bertema tradisi makan siang di Nusantara.
Wah, menarik sekali pikir saya. Temanya seperti kebiasaan sehari-hari yang kelihatannya nggak terlalu sulit untuk mengumpulkan bahan tulisannya. Apalagi undangan menulis itu pun juga dilombakan. Semakin semangatlah saya untuk mengikutinya.
Durasi pengumpulan tulisan sekitar satu bulan lamanya. Dan tepat di hari terakhir, saya alhamdulillah bisa mengumpulkannya. :D
Tulisan yang saya buat berjudul “Tradisi Makan Siang Ibu Rumah Tangga Sekaligus Blogger dan Content Creator.” Kenapa saya memilih judul tersebut? Sebenarnya hal ini memang berangkat dari kebiasaan makan siang yang saya lakukan.
Ada satu masa dimana sambil menunggu anak-anak pulang sekolah saya menikmati makan siang di berbagai kafe atau restoran di tempat saya tinggal di Depok.
Tulisan saya di buku ini menyoroti tentang kebiasaan makan siang bagi para ibu rumah tangga di perkotaan seperti saya. Selain di rumah, para ibu biasanya juga beraktivitas makan siang bersama di kafe atau restoran.
Meski sekarang restoran kekinian tumbuh di mana-mana, saya mengapresiasi restoran-restoran yang masih menyiapkan menu makanan khas Nusantara sebagai sajian utamanya.
Saya pun mengulas beberapa menu seperti Nasi Goreng Kecombrang di Cafe Joglo, Mangut Manyung di Omah Simbah, dan Ayam Goreng Lengkoas yang disajikan di Rymah Tjempaka.
Selain menikmati makan siang, kerap kali saya juga mendokumentasikan momen tersebut untuk membuat konten di social media dan juga di blog.
Saya nggak pernah menduga kalau tulisan yang awalnya hanyalah refleksi harian tentang tradisi makan siang yang saya lakukan selama ini akan berujung pada perjalanan besar dalam mendokumentasikan tradisi makan siang Nusantara.
Ketika pengumuman pemenang lomba, tulisan saya memang nggak menang. Namun, saya tetap bersyukur sekali ketika tahu kalau tulisan saya masuk ke dalam buku antologi “Tradisi Makan Siang Indonesia: Khazanah Ragam dan Penyajiannya” ini… :)
Buku “Tradisi Makan Siang Indonesia: Khazanah Ragam dan Penyajiannya,” Potret Kuliner & Kehidupan Sehari-hari Nusantara
Buku ini bukan sekadar kumpulan resep atau menu makan siang saja. Buku ini bisa menjadi dokumentasi budaya di mana makan siang menjadi cermin perjalanan hidup masyarakat di Nusantara.
Disunting oleh Amanda Katili Niode, Ph.D., buku ini diterbitkan berkat kolaborasi Omar Niode Foundation, Yayasan Nusa Gastronomi Indonesia, dan Komunitas Food Blogger Indonesia. Dan tentunya juga atas dukungan Dio Media Publishing yang mencetak buku eksklusif ini.
Mengapa saya katakan eksklusif? Bayangkan saja buku ini dicetak hardcover dengan jumlah hampir 500 halaman. Setiap lembaran di dalamnya pun full color! Kebayang, kan, eksklusif banget. Apalagi untuk buku kuliner memang baiknya setiap halaman terutama yang menampilkan foto makanan dibuat berwarna supaya lebih menarik.
Nggak hanya eksklusif, buku ini pun isinya sangat kaya. Terdiri dari 40 tulisan dari 17 provinsi di delapan pulau, mulai dari Sabang sampai Merauke. Buku ini menampilkan tradisi makan siang yang berbeda-beda. Dari papeda di Papua, soto Banjar di Kalimantan Selatan, rujak cingur khas Jawa Timur, choipan di Pontianak, tradisi Ngidang di Palembang, dan masih banyak lagi.
Buku ini juga bukan hanya soal makanan. Ada cerita tentang asal-usul hidangan, proses memasak, pilihan alat penyajian, cara makan, hingga siapa yang menyiapkannya, apakah ibu, ayah, kakek, nenek, penjual warung atau anggota keluarga.
Satu hal lagi yang membuat buku ini sangat eksklusif adalah dibuat ke dalam dua bahasa, Indonesia dan Inggris. Hal ini menjadi satu cara untuk promosi budaya kita ke berbagai negara di dunia.
Menurut Amanda Katili Niode sendiri, buku ini menjadi potret kehidupan harian masyarakat Indonesia melalui sudut pandang kuliner. Makan siang, dalam perspektif itu mencerminkan nilai kekeluargaan, kreativitas lokal, dan daya tahan budaya.
Bagi saya sebagai kontributor, melihat nama saya tertera di daftar penulis tentunya menjadi kebanggaan besar. Bukan hanya karena saya ikut “nampang” di buku ini, tetapi karena cerita sederhana saya tentang makan siang menu-menu tradisional bersama ibu-ibu kini menjadi bagian dokumentasi budaya nasional: warisan kecil yang kelak bisa dibaca, dikenang, dan diteruskan oleh generasi mendatang.
Peluncuran Buku di Ubud Food Festival 2025
Buku “Tradisi Makan Siang Indonesia: Khazanah Ragam dan Penyajiannya” diluncurkan pada Sabtu, 31 Mei 2025 tepat dalam rangkaian acara Ubud Food Festival 2025 di Ubud, Bali.
Acara berlangsung di Rumah Kayu, Taman Kuliner Ubud. Banyak pengunjung festival, praktisi kuliner, blogger, penulis, hingga pegiat budaya hadir untuk menyaksikan peluncuran buku ini.
Dalam acara itu, terdapat tiga narasumber utama yang hadir, yaitu Ibu Amanda Katili Niode (editor buku), Ibu Mei Batubara (tokoh pelestari budaya kuliner), dan Harry Mangat, chef asal India dan pendiri proyek pop-up dining nomaden Biji Dining. Peluncuran buku sekaligus diskusi buku ini dipandu oleh Robby Bagindo dari Masak TV / Tastemade.
Saya sendiri nggak hadir di dalam acara peluncuran buku tersebut. Namun membaca berbagai berita media online yang meliput acara ini rasanya senang sekali. :) Apalagi dengan acara tersebut akan semakin banyak masyarakat yang tahu akan buku ini.
Book Talk di Atelier Rasa, Berbagi Cerita dan Rasa dengan Komunitas
Meskipun saat peluncuran buku di Bali nggak hadir, tapi saya bersyukur bisa datang ke acara Book Talk buku ini di Atelier Rasa, Kemang, Jakarta Selatan. Acaranya berlangsung pada hari Kamis, 16 Oktober 2025, bertepatan dengan peringatan World Food Day.
Ini kali pertama saya datang ke Atelier Rasa. Ternyata tempat ini memang masih baru dan akan menjadi wadah bagi para pegiat kuliner dan masakan nusantara. Selain akan menjadi tempat workshop memasak, tempat ini juga dilengkapi dengan banyak buku kuliner. Yakin, deh, begitu ada di sini pengetahuan kita tentang kuliner akan bertambah.
Atelier Rasa sendiri dimiliki oleh Chef Ragil dari Nusa Gastronomy bersama Ibu Mei Batubara.
Di acara Book Talk ini saya bisa bertemu langsung dengan Ibu Amanda Katili serta teman-teman dari Komunitas Food Blogger Indonesia, dan juga pegiat kuliner Nusantara.
Selain berbincang mengenai isi buku. di acara ini saya juga berkesempatan untuk menikmati berbagai kuliner khas Gorontalo. Masakan-masakan Gorontalo ini diracik langsung oleh Kak Zahra dari @dapurgoronto. Ada berbagai menu unik Gorontalo yang baru kali pertama ini saya rasakan, seperti Kapodo, Duduli, dan lainnya.
Sebagai kontributor, saya merasa lega dan bahagia. Buku ini nggak hanya ada di rak buku saja, tapi dihidupkan, dibicarakan, dirasakan, dan dihidangkan kembali lewat acara Book Talk ini.
Penghargaan Internasional: Gourmand World Cookbook Award 2025
Tidak berhenti di peluncuran dan book talk: pada akhir November 2025, datang kabar yang membuat saya bangga luar biasa. Buku “Tradisi Makan Siang Indonesia: Khazanah Ragam dan Penyajiannya” memenangkan penghargaan Best Book in the World pada Gourmand World Cookbook Awards 2025.
Penghargaan tersebut diumumkan di Riyadh, Arab Saudi dalam rangkaian acara festival kuliner internasional dan diberikan langsung oleh Presiden Gourmand Awards, Edouard Cointreau.
Bagi saya penghargaan ini menjadi bentuk pengakuan bahwa cerita sederhana tentang makan siang di rumah, tradisi sehari-hari, rutinitas seorang ibu rumah tangga memiliki nilai universal sebagai bagian dari budaya, identitas, dan warisan bangsa. Makan siang bukan lagi sekadar soal nasi dan lauk, tetapi tentang sejarah, rasa, dan keberlanjutan.
Menurut Edouard Cointreau, buku ini tampil menonjol karena kedalaman riset dan makna kultural yang dihadirkannya.
Menang di ajang internasional seperti Gourmand Awards membuat saya sadar kalau dari cerita sehari-hari bisa hadir kisah yang dibaca dunia. Seolah dunia pun mengiyakan, bahwa makan siang, budaya rumah tangga, makanan lokal, tradisi semuanya pantas dibanggakan, diabadikan, dan tentunya dijaga.
Tradisi Makan Siang Layak Dibagikan & Dilestarikan
Menulis blog ini seperti mengumpulkan kembali setiap memori yang saya alami setahun terakhir ini, mulai dari menulis artikel hingga buku ini ada di genggaman saya.
Saya bersyukur bisa ikut serta dalam perjalanan besar dokumentasi kuliner dan budaya ini. Bahwa suara saya, cerita saya, kebiasaan saya bisa ikut berbicara melalui tulisan di dalam buku ini. Bahwa saya bisa membawa “kehidupan sehari-hari” kecil saya ke panggung nasional, bahkan internasional.
Semoga kedepan, lebih banyak ibu rumah tangga, penulis, blogger, chef, penjual warung, petani, generasi muda, dan siapa saja yang mau menceritakan tradisi makan siang mereka. Karena di tiap piring, ada sejarah, ada ceritanya.
Dan untuk Manteman yang membaca blog ini, kalau Manteman merasa bahwa makan siang atau makanan apa pun di rumahmu punya cerita, tolong jangan anggap biasa. Abadikan, tulis, ceritakan. Karena bisa jadi, suatu hari, cerita Manteman ikut menjadi bagian dari warisan budaya bangsa.
Dita Indrihapsari (Bubu Dita)
@rumikasjourney







Masha Allah. Setuju semua dengan yang Dita sampaikan tentang buku ini, termasuk betapa bernilai sebuah cerita ketika ditulis dan dibagikan. Makasih banyak Dita, senang baca ceritamu tentang buku TMSI ini. Selamat buat kita semua para kontributor, editor, dan penggagas atas penghargaan internasional yang diraih. Sukses selalu.
ReplyDelete