Rute Walking Tour Chinatown, Menyusuri Jejak Tionghoa di Jakarta
Bubu sudah beberapa kali ikut walking tour di Jakarta. Namun rute Chinatown belum pernah sekalipun Bubu ikuti. Padahal menurut teman-teman walking tour, rute Chinatown jadi salah satu rute paling favorit. Selain melewati banyak tempat bersejarah, rute Chinatown juga dikenal sebagai rute yang banyak jajanannya… :D
Akhirnya kesempatan untuk mengikuti walking tour Chinatown pun tiba. Sebenarnya duluuu sekali pas Bubu masih SD atau SMP, Bubu pernah diajak mama ke kawasan Chinatown juga, tepatnya ke Petak Sembilan. Agak lupa-lupa inget, sih. Kayaknya dulu mama mau belanja sesuatu di sana. Paling ingat ada yang jual swike atau kodok! :D
Nah, kali ini Bubu benar-benar menyusuri kawasan Chinatown dengan lebih dalam dan penuh makna melalui walking tour bersama Jakarta Good Guide.
Tur yang dipandu oleh Kak Ara ini membuka mata Bubu tentang sejarah panjang dan warisan budaya masyarakat Tionghoa di Jakarta yang masih bisa kita lihat hingga kini. Menjelajah ke mana saja di rute walking tour Chinatown? Simak cerita Bubu di bawah ini, yuk…
1. Harco Glodok, Dari Penjara Menjadi Pusat Elektronik
Rute dimulai dari Harco Glodok. Tempat ini jadi meeting point untuk peserta walking tour dan tour guide berkumpul.
Harco Glodok merupakan sebuah pusat perbelanjaan elektronik di kawasan Glodok. Siapa sangka, dulunya tempat ini adalah lokasi sebuah penjara besar zaman kolonial.
Penjara ini dulu menahan banyak orang-orang etnis Tionghoa. Penjara ini juga pernah menahan tokoh besar seperti Bung Hatta serta personel band legendaris Indonesia, Koes Plus.
Mereka ditahan bukan karena kejahatan, tetapi karena perjuangan dan ekspresi seni mereka yang dianggap membahayakan.
Kini, tempat yang dulunya penuh derita telah berubah menjadi pusat kegiatan ekonomi. Namun, sejarah kelamnya tetap membekas dalam cerita yang disampaikan Kak Ara.
Baca Juga: Private Walking Tour Kebun Raya Bogor
2. Pantjoran Tea House, Siap Menyambut Siapa Saja dengan Secangkir Teh
Setelah berjalan kaki sebentar, kami tiba di gerbang masuk kawasan Chinatown, yang ditandai dengan keberadaan Pantjoran Tea House. Bangunan ini bukan sekadar kedai teh, melainkan simbol keramahan warga Tionghoa.
Di bagian depan, ada meja kecil dengan delapan teko teh dan gelas-gelas kertas. Teh ini bisa dinikmati gratis oleh siapa pun yang lewat. Hal ini mengikuti tradisi patekoan dari seorang Kapiten China bernama Gan Djie yang membagikan teh gratis dengan menaruh delapan teko teh di depan kantornya untuk orang-orang di sekitarnya.
Di fasad depan, juga terdapat deretan foto-foto lama yang menggambarkan suasana Pecinan tempo dulu, sebuah pengingat akan sejarah panjang kawasan ini.
3. Tay Seng Hoo, Toko Obat Legendaris di Chinatown
Pemberhentian berikutnya adalah Tay Seng Hoo, toko obat yang telah berdiri sejak 1930. Di sini dijual berbagai ramuan herbal, pil, dan minyak khas pengobatan Tionghoa.
Kak Ara menjelaskan bahwa toko ini masih mempertahankan gaya pelayanan klasik, yaitu pelanggan bisa berkonsultasi langsung dan mendapatkan ramuan yang disesuaikan dengan kondisi mereka.
Saat Bubu masuk ke dalam terlihat kalau interior toko obat ini masih sangat otentik dengan rak kayu dan laci kecil untuk menyimpan berbagai bahan herbal. Rasanya seperti masuk ke mesin waktu!
Tay Seng Hoo berada di deretan ruko-ruko tak jauh dari gerbang Chinatown dan Pantjoran Tea House.
Baca Juga: Rute Walking Tour Depok Lama
4. Sinar Pancoran, Surganya Camilan Manis
Walking tour kemudian dilanjutkan ke toko manisan legendaris yang menjual beragam permen, kue kering, dan camilan khas Tionghoa bernama Toko Sinar Pancoran.
Nuansa nostalgia langsung terasa begitu Bubu melihat bagian depan toko. Memang tokonya nggak besar, tapi ramai dengan aneka permen dan camilan yang dijual di sana. :D
Sinar Pancoran bukan hanya tempat belanja, tetapi juga bagian dari tradisi. Di sinilah banyak keluarga membeli kebutuhan perayaan penting seperti Cap Go Meh dan Imlek.
Oiya, bagi Manteman Musli harap hati-hati kalau membeli permen atau camilan di sini, ya. Pastikan kalau yang Manteman konsumsi halal, ya. Soalnya ada juga yang non-halal di sini.
5. Sukaria, Toko Perlengkapan Sembahyang
Nah, toko berikutnya yang Bubu dan rombongan tour sambangi adalah Toko Sukaria. Toko ini menjual perlengkapan sembahyang Tionghoa seperti kertas kim chua, dupa, lilin merah, hingga replika uang dan barang-barang yang akan dibakar untuk orang yang meninggal atau untuk leluhur .
Kak Ara menjelaskan bahwa membakar barang-barang ini adalah simbol pengiriman “hadiah” kepada orang yang telah tiada.
Melihat berbagai replika modern seperti tas branded, mobil mewah, bahkan smartphone dari kertas, membuat Bubu jadi membuka mata dengan bagaimana tradisi bisa beradaptasi dengan zaman.
Tradisi ini memang menarik banget. Dan tentunya beda dengan tradisi di agama dan budaya yang Bubu anut.
Namun bagi Bubu hal ini bukanlah hal baru bagi Bubu. Saat kuliah Komunikasi Budaya dulu, Bubu pernah belajar juga soal ini. Bahkan di acara festival budaya melakukan presentasi tentang bagaimana budaya mengirimkan barang ke orang yang telah meninggal di budaya Tionghoa.
6. Vihara Dharma Bhakti, Tempat Ibadah Vihara Tertua di Jakarta
Di kawasan pecinan Jakarta pastinya juga ada beberapa tempat ibadah yang kami eksplorasi. Salah satunya adalah Vihara Dharma Bhakti. Begitu memasuki kawasan vihara ini, Bubu melihat cukup banyak orang-orang yang duduk di depan gerbang masuknya. Ternyata mereka di sana untuk meminta berkah kepada siapa saja yang ada di vihara, terutama yang beribadah.
Namun karena Bubu ke sana di saat weekend memang vihara ini nggak terlalu banyak pengunjung. Tapi tetap ada saja yang datang, mengambil hio, berdoa, dan beribadah di sana.
Didirikan pada tahun 1650, Vihara Dharma Bhakti menjadi vihara tertua di Jakarta dan menjadi pusat keagamaan sekaligus sosial bagi komunitas Tionghoa.
Meskipun beberapa waktu lalu sempat mengalami kebakaran dan ada bagian yang masih dipugar dan nggak bisa dimasuki, masih ada bangunan lainnya yang masih kokoh berdiri dengan ornamen khas Tionghoa.
Vihara Dharma Bhakti menjadi rumah untuk banyak dewa termasuk Dewi Kwan Im. Di dalam vihara, aroma dupa memenuhi udara. Beberapa lilin besar juga menyala terang menyambut pengunjung.
Baca Juga: Liburan Seru di Jatim Park 1, Worth It Nggak, Sih, Bawa Keluarga?
7. Gereja Katolik Santa Maria de Fatima, Perpaduan Budaya dan Iman
Tak jauh dari Vihara Dharma Bakti, berdiri sebuah gereja Katolik bernama Santa Maria de Fatima yang arsitekturnya menyerupai rumah khas Tionghoa. Gereja ini dibangun abad ke-19 dan menjadi rumah seorang kapitan Tionghoa.
Lalu di tahun 50-an, bangunan ini diambil alih oleh seorang misionaris bernama Matteo Ricci asal Italia. Dari situlah bangunan khas Tionghoa ini berubah fungsi menjadi gereja. Gereja Katolik Santa Maria de Fatima pun menjadi simbol akulturasi antara budaya Tionghoa dan agama Katolik.
Interior di dalam gereja tampak sederhana tapi tetap terlihat anggun. Elemen Tionghoa terlihat dari hiasan lampion dan ornamen naga di beberapa sudut.
Banyak warga Tionghoa Katolik beribadah di sini dan tempat ini pun menjadi saksi bagaimana budaya dan agama bisa hidup berdampingan.
8. Vihara Dharma Jaya Toasebio, Tempat Ibadah dan Pelestarian Budaya
Bubu dan rombongan tour kemudian melanjutkan perjalanan ke Vihara Dharma Jaya Toasebio, yang tak kalah bersejarah.
Vihara ini didirikan pada abad ke-18. Di sini, pengunjung juga bisa melihat bagaimana kelenteng tetap menjadi pusat aktivitas keagamaan sekaligus budaya.
9. Petak Enam, Wajah Baru Chinatown
Setelah menyusuri jejak masa lalu, kami sampai di tempat yang lebih modern, yaitu Petak Enam. Tempat ini merupakan food court modern yang tetap mempertahankan nuansa Tionghoa. Banyak gerai makanan legendaris dari kawasan Glodok yang kini menempati kios-kios rapi di sini.
Petak Enam seperti jembatan antara masa lalu dan masa kini. Tempat ini cocok untuk beristirahat sambil menikmati kuliner khas seperti bakmi, es kopi, hingga kue keranjang.
Baca Juga: Itinerary Semarang 2 Hari 1 Malam
10. Pieces of Peace, Minum Teh dengan Filosofi
Penutup walking tour kami adalah tempat bernama Pieces of Peace, sebuah tempat minum teh yang mengajarkan filosofi minum teh ala Tionghoa.
Tak sekadar mencicipi, kami juga diajak melihat tata cara penyajian teh yang penuh makna dan kesederhanaan. Tata cara membuat teh ala Tionghoa ini disebut juga dengan Gongfu Cha.
Walking tour Chinatown Jakarta bersama Jakarta Good Guide ini bukan sekadar jalan-jalan, tapi benar-benar perjalanan menyusuri jejak sejarah dan budaya yang masih hidup di tengah kota modern.
Kak Ara sebagai pemandu memberi banyak insight menarik dan membuat pengalaman jalan kaki menyusuri kawasan Chinatown ini jadi lebih hidup.
Oiya, di walking tour kali ini Bubu juga beberapa kali jajan, seperti es tebu, es jeruk murni, roti kuku, mi pan, dan bakpia. Ada banyak lagi jajanan khas juga di Chinatown. Namun ada banyak juga yang non-halal, ya, Manteman. Jadi bagi Manteman muslim bisa lebih aware lagi kalau jajan di kawasan Chinatown... :)
Dita Indrihapsari (Bubu DIta)
@rumikasjourney
Comments
Post a Comment